Jawdat Sami al-Madhoun hampir tidak percaya ketika melihat gerbang Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa muncul di hadapannya. Asisten dokter berusia 26 tahun itu berhasil meninggalkan Rumah Sakit Al-Shifa yang terkepung di Kota Gaza dan berjalan sejauh 16 km (10 mil) ke Deir el-Balah.
Jawdat telah menghabiskan 25 hari sebelumnya menjadi sukarelawan di unit gawat darurat RS Al-Shifa, berjuang bersama staf lainnya untuk membantu korban cedera sebaik mungkin, seringkali tanpa obat-obatan dan perlengkapan paling dasar.
“Kami tidak dapat membantu yang terluka,” katanya kepada Al Jazeera pada Senin 13 November, sambil memalingkan wajahnya saat suaranya parau. “Mereka sekarat! Kami tidak dapat melakukan apa pun untuk menyelamatkan mereka. Kami hanya akan menyaksikan mereka mati.
“Ada ratusan jenazah di halaman rumah sakit. Kami bahkan tidak bisa menguburkannya.”
RS Al-Shifa telah dikepung oleh pasukan Israel sejak Jumat 10 November, dan tidak ada seorang pun yang diizinkan masuk atau keluar dari kompleks rumah sakit tertua dan terbesar di Gaza. Pada Rabu 15 November, pasukan Israel menyerang dan mengklaim bahwa terdapat pusat komando Hamas di dalamnya. Klaim yang belum terbukti hingga saat ini.
Rumah sakit tersebut kehilangan pasokan listrik sepenuhnya pada Sabtu 11 November, menghentikan semua peralatan medisnya dan membahayakan 39 bayi prematur yang inkubatornya berhenti berfungsi.
Sejak itu, tujuh bayi telah meninggal, jumlah korban terus bertambah karena rumah sakit masih lumpuh. Staf di rumah sakit telah menguburkan setidaknya 179 jasad di halaman.
Bahkan berpindah antar gedung medis di kompleks tersebut, kata Jawdat, adalah masalah hidup dan mati karena penembak jitu Israel menargetkan siapa pun yang bergerak.
“Saya adalah seorang sukarelawan,” katanya. “Saya akan menerima orang-orang, melakukan triase pada beberapa kasus, dan membalut siapa pun yang dapat saya bantu. Saya bukan perawat terlatih, tapi saya mempelajarinya selama sekitar satu setengah tahun, jadi saya ingin melakukan sesuatu, apa saja, untuk membantu.
“Suatu hari, empat gadis kecil yang cantik datang, yang tertua berusia sekitar 13 tahun, hanya satu dari mereka yang terluka… mereka datang bersama keluarga mereka yang telah meninggal; ayah, ibu dan saudara laki-laki. Kami melakukan apa yang harus kami lakukan dan menguburkan mereka,” kata Jawdat yang kemudian berhenti bersuara, menundukkan kepala dan terisak.
“Gadis kecil yang terluka itu menatapku dan berkata: ‘Tolong, Paman, biarkan aku mati bersama mereka. Aku tidak tahu bagaimana akan hidup tanpa orang tua dan saudara laki-lakiku.’
“Di hari lain, kami menerima seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, yang terluka parah akibat serangan yang menewaskan keluarganya. Setiap kali dia melihat saya, dia akan berkata: ‘Bisakah kamu menyembuhkan saya atau membiarkan saya pergi [mati] bersama mereka?’.”
Jawdat pun terheran bagaiama dirinya bisa kuat menjalani hari-hari kelabu tersebut.
“Saya tidak tahu dari mana kami mendapat tenaga untuk melakukan pekerjaan ini. Tuhan pasti memberi kita semua kekuatan untuk terus maju. Para dokter bekerja dengan panik. Mereka rela bekerja selama tiga, empat hari berturut-turut tanpa tidur, melakukan apa pun asalkan bisa menyelamatkan satu anak lagi, satu orang lagi.”
“Saya punya teman, Islam al-Munshid; Saya terkejut menemukan dia di ruang tunggu suatu hari, terluka parah. Ternyata dia terluka dalam serangan Israel di gerbang Al-Shifa sehari sebelumnya, dan saya belum pernah melihatnya di tengah-tengah semua korban luka. Saya bertanya kepada dokter bagaimana keadaannya, dan mereka berkata: ‘Otaknya mati, tapi tubuhnya masih bernapas. Doakan dia beristirahat dengan tenang.’
“Tiga hari, 72 jam, saya pergi dan memeriksanya setiap jam untuk melihat apakah dia masih bernapas atau tidak hingga akhirnya dia meninggal.”
“Tidak ada yang bisa kami lakukan. Seandainya kami punya peralatan, mungkin kami bisa membantunya, tapi kami tidak punya apa-apa, jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Tengkoraknya patah di dua tempat, dan dia memerlukan operasi segera untuk menyelamatkan nyawanya, tapi kami tidak bisa.”