Perang antara Hamas, kelompok faksi Palestina, terhadap Israel masih berlangsung. Serangan tersebut menjadi catatan sejarah baru, di tengah sejarah panjang konflik pertanahan antara sengketa kedua wilayah tersebut.
Konflik Israel-Palestina telah merenggut banyak nyawa dan membuat jutaan orang mengungsi. Memangnya, konflik Israel dan Palestina karena apa? Siapa yang memulai perang? Simak sekilas ulasannya berikut ini.
Sejarah Palestina dan Israel
Berikut ini rentetan sejarah konflik antara Palestina dan Israel yang dilansir dari laman Aljazeera.
Deklarasi Balfour 1917 ‘Pendirian Rumah Nasional Yahudi’
Pada tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat kepada kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris.
Surat itu dikenal dengan sebutan Deklarasi Balfour. Isi surat tersebut memberikan dampak guncangan besar terhadap Palestina, yang masih terasa hingga saat ini.
Di mana, isi perjanjian dalam surat mengikat pemerintah Inggris untuk “mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina” serta memfasilitasi “pencapaian tujuan itu”.
Mandat Inggris dibentuk pada tahun 1923 dan berlangsung sampai tahun 1948. Selama periode itu, Inggris telah memfasilitasi migrasi orang Yahudi (banyak penduduk baru yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa).
Namun, warga Palestina khawatir dengan perubahan demografi negara mereka, serta penyitaan tanah merdeka oleh Inggris untuk diserahkan ke pemukim Yahudi.
Pemberontakan Arab Tahun 1930-an
Ketegangan yang terus meningkat menyebabkan pemberontakan Arab, yang berlangsung dari tahun 1936 sampai 1939. Pada April 1936, Komite Nasional Arab meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum.
Pemogokan umum dilakukan dengan menahan pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi. Hal ini dilakukan untuk memprotes kolonialisme Inggris dan akibat meningkatnya imigrasi Yahudi.
Aksi tersebut berlangsung enam bulan dan ditindas secara brutal oleh Inggris, dengan melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan penghancuran (sebuah praktik yang terus diterapkan Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini).
Fase kedua pemberontakan terjadi pada akhir tahun 1937 yang dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina. Mereka menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme.
Pada paruh kedua di 1939, Inggris telah mengerahkan sekitar 30.000 tentaranya di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, serta penahanan administratif hingga pembunuhan massal tersebar luas.
Di saat bersamaan, Inggris juga berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi dengan membentuk kelompok bersenjata dan “pasukan kontra pemberontakan” yang terdiri dari para pejuang Yahudi yang disebut “Pasukan Malam Khusus” yang dipimpin Inggris.
Keputusan PBB Tahun 1947
Di tahun 1947, populasi Yahudi telah membengkak menjadi 33 persen di Palestina, dan mereka hanya memiliki 6 persen tanah.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengadopsi resolusi 181, dengan menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi.
Banyak yang beranggapan, bahwa titik konflik awal Palestina dan Israel yaitu akibat keputusan PBB pada tahun 1947 ini.
Kala itu, PBB membagi wilayah Palestina dalam mandat Inggris menjadi dua negara, yakni satu negara Yahudi, dan satu negara Arab menyusul kehancuran sebagian besar warga Yahudi Eropa dalam Holocaust.
Dalam hal ini, Palestina menolak rencana tersebut karena rencana itu akan memberikan sekitar 55 persen wilayah Palestina kepada negara Yahudi (termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur).
Kala itu warga Palestina memiliki 94 persen wilayah bersejarah Palestina sekaligus mencakup 67 persen populasinya.
Dilansir The Guardian, baik Palestina maupun negara-negara Arab tidak menerima pendirian Israel modern. Pertempuran antara kelompok bersenjata Yahudi (beberapa di antaranya dianggap Inggris sebagai organisasi teroris), dan pejuang Palestina meningkat.
Hal ini juga membuat tentara Mesir, Irak, Transjordania, dan Suriah menyerang, setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaan pada Mei 1948.
Perjanjian gencatan senjata pada tahun 1949, menetapkan perbatasan baru secara de facto dengan memberi negara Yahudi tersebut lebih banyak wilayah, dibandingkan dengan diberikan berdasarkan rencana pembagian PBB.
Pembersihan Etnis Palestina (Nakba) Tahun 1948
Sebelum Mandat Inggris berakhir pada 14 Mei 1948, para militer Zionis sudah memulai operasi militer untuk menghancurkan wilayah Palestina, demi memperluas perbatasan negara Zionis yang akan lahir.
Pada April 1948, lebih dari 100 laki-laki, wanita dan anak-anak Palestina dibunuh di desa Deir Yassin yang ada di pinggiran Yerusalem.
Tindakan itu menentukan jalannya operasi selanjutnya, dan dari tahun 1947 sampai 1949, telah lebih dari 500 desa dan kota-kota di Palestina dihancurkan. Peristiwa tersebut itu disebut sebagai Nakba atau berarti bencana dalam bahasa Arab.
Aksi tersebut diperkirakan telah menewaskan 15.000 warga Palestina (termasuk dalam puluhan pembantaian). Gerakan Zionis berhasil menguasai 78 persen wilayah bersejarah Palestina.
Kemudian 22 persen sisa wilayahnya dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat (diduduki Jalur Gaza yang terkepung).
Alhasil, diperkirakan ada 750.000 warga Palestina yang harus meninggalkan rumah mereka dan mengungsi ke negara tetangga, seperti Yordania, Suriah, Mesir, dan Lebanon.
Berdirinya Israel
Pada 15 Mei 1945, Israel mendeklarasikan pendiriannya. Dari sini, membuat konflik pun semakin memuncak. Besoknya, terjadi perang Arab-Israel pertama dimulai dan pertempuran itu berakhir pada Januari 1949.
Pertempuran berakhir setelah gencatan senjata antara Israel dengan Mesir, Suriah, Lebanon, dan Yordania.